Selasa, Mei 05, 2009

|Posdaya| CSR : Dahulukan Kurang Gizi, Kelaparan dan Kebodohan Dasar

CSR & Berbagai Ragam Programnya

Banyak warga masyarakat kenal kata “CSR”, kependekan dari ‘Corporate Social Responsibility’. CSR, kalau mau gampangnya dapat diartikan sebagai kegiatan suatu perusahaan, yang karena ’terpaksa’ atau ’sadar’, peduli kepada masyarakat.

Setiap perusahaan boleh dikatakan bebas menentukan pilihan program CSR-nya. Karena kebebasan itulah maka di lapangan kita jumpai CSR yang berbentuk beasiswa bagi anak pintar (bukan untuk anak miskin), membangun dan mengoperasionalkan sekolah, membantu kebersihan dan kelestarian lingkungan, melatih keterampilan para pemuda putus sekolah, membantu modal dan pelatihan manajemen usaha kecil dan sejenisnya.

Dalam kenyataannya di lapangan, kegiatan CSR seringkali terkontaminasi oleh kepentingan perusahaan, yakni promosi. Atau dengan kata lain promosi ”nebeng” CSR. Karena ada unsur promosi ini maka seringkali acara seremonial memakan biaya yang tidak sedikit. Bahkan kadangkala biaya seremonial itu sendiri lebih tinggi daripada kegiatan sosialnya. Sebagai contoh pernah ditemui kegiatan sunat masal di mana biaya seragam panitia dan konsumsi para tamu pejabat jauh lebih tinggi daripada total biaya untuk sunatnya sendiri.

Alasan Ber-CSR

Sebagaimana disebutkan, ada dua alasan ekstrim sebuah perusahaan melakukan CSR, yakni karena ”terpaksa” dan karena ”sadar”. Dikatakan ”terpaksa” bilamana perusahaan beranggapan bahwa gara-gara ada peraturan pemerintah atau undang-undang, perusahaan terpaksa melaksanakan program tersebut. Sebab kalau tidak mengikutinya akan terkena berbagai sangsi.

Dikatakan sadar kalau perusahaan, dalam hal ini tentu saja dimotori oleh pimpinan / pemilik perusahaan, tanpa harus ada peraturan dan undang-undang pun, menyadari bahwa mereka perlu bahkan harus peduli kepada masyarakat walaupun perusahaan mereka telah menyetor pajak. Mengapa ? Paling tidak ada satu atau lebih alasan dari lima alasan berikut ini.

Yang pertama setiap individu dalam perusahaan – sebagai manusia yang religius – memahami bahwa pada hartanya terdapat hak orang miskin yang meminta dan yang tidak mendapat bagian sehingga di saat lapang dan sempit harus memberikan hak mereka. Distribusi dalam pemberian sebagian harta itu tentu saja dilakukan secara berimbang antara keluarga dan masyarakat dengan menggunakan ”akal sehat” berdasarkan tuntunan yang ada dalam kitab suci masing-masing. Masyarakat yang mana? Tentunya masyarakat yang ter”dekat”. Dekat lokasi rumah, dekat lokasi kerja, dekat karena hubungan kerabat dan kriteria ”dekat-dekat” lainnya.

Yang kedua, setiap invidu paham bahwa persoalan kemiskinan dan kebodohan, bagaimanapun canggihnya sistem sosial dan pendidikan yang dirancang parlemen dan kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah, tetap tidak akan bisa menyelesaikan masalah secara tuntas. Selalu ada ”bolong-bolong”nya sehingga perlu partisipasi rakyat – apapupun latar belakangnya – untuk menutupi kekurangan tersebut.

Yang ketiga, setiap individu paham bahwa kalau tidak segera bertindak, anak-anak dalam kandungan dan balita-balita miskin yang kurang gizi saat ini kelak akan menjadi kawan atau anak buah dari anak-cucu setiap individu itu. Dapat dibayangkan betapa susahnya anak-cucu setiap individu tersebut bermitra dan bekerja dengan mereka yang bodoh karena di masa kecilnya kurang gizi dan kurang tersentuh pendidikan.

Yang keempat, setiap individu paham bahwa eksistensi perusahaan di mana mereka bekerja selalu tidak lepas dari pengorbanan orang lain yang tidak selalu bisa ditukar dengan uang. Karena itulah semua individu dalam perusahaan perlu membalas budi agar suatu saat nanti tidak terjadi ”balas dendam”, suatu kondisi alamiah yang biasanya terjadi bilamana budi diabaikan.

Yang kelima, setiap individu paham bahwa cepat atau lambat disparitas atau kesenjangan yang terjadi antara yang berlebih dan yang kekurangan akan menghasilkan kecemburuan. Kecemburuan tanpa akal karena kebodohan akan menimbulkan sifat merusak. Bayangkan saja bilamana fasilitas kehidupan yang telah dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan hancur dalam sekejab dirusak secara emosional hanya karena cemburu saja.

Dengan dasar alasan itulah, sambil berjuang mengusulkan kepada pemerintah agar memperbaiki sistem sosial-ekonomi bagi masyarakat, setiap individu yang paham dalam perusahaan merasa perlu untuk ber-ISR (Individual Social Responsibility). Sokur-sokur perusahaan tempat bekerja mau mengkoordinasikannya sehingga dari ISR-ISR terbentuklah CSR yang merupakan vektor dari kepentingan semua pihak yang berkaitan dengan perusahaan. Dengan demikian terdapat kaitan antara kepentingan individu dengan kepentingan perusahaan. Tidak semata-mata untuk kepentingan promosi perusahaan atau kepetingan per individu saja.

Mengkaitkan CSR Dengan Masalah Mendasar Negeri Ini.

Jika sudah dipahami mengapa individu secara sendiri-sendiri maupun bersama dalam perusahaan perlu ber-CSR, maka pada tahap berikutnya dalam melaksanakan CSR-nya perusahaan perlu pula melihat persoalan yang penting dan mendesak yang kini dialami bangsa ini. Tidak bermasalah walaupun ada unsur promosi di dalamnya, yang penting CSR benar-benar tepat sasaran..

Ada banyak persoalan besar di negeri ini. Selain pemilu dan pilkada yang masih menyita banyak waktu dan biaya yang besar (apalagi kalau diulang), korupsi yang masih belum tuntas diberantas di level tengah-bawah, juga masih adanya 16,6 % rakyat (sekitar 30-an juta jiwa) dalam keadaan miskin. Termasuk dalam jumlah itu adalah 3-4 juta balita miskin yang 790 ribu di antaranya dalam keadaan kurang gizi kronis. Karena pemerintah hanya mampu menangani (bukan mencegah) 39 ribu balita kurang gizi saja maka masih tersisa 3 jutaan balita yang belum jelas siapa yang menanganinya agar tercegah dari kurang gizi kronis.

Dikatakan belum jelas siapa yang menanganinya adalah karena keberdayaan masyarakat untuk peduli secara nyata masih rendah. Beberapa bukti yang dapat diperoleh dari lapangan di antaranya adalah :
  • Menurut berita, dari sekitar 250 ribuan posyandu yang ada di Indonesia, diperkirakan hanya 50% saja yang aktif. Padahal posyandu adalah ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
  • Kebanyakan posyandu hanya diurus oleh kadernya saja sehingga kalau kadernya kaya mereka dapat berpatungan untuk membantu mencegah gizi kurang yang dialami para pengunjung posyandu yang notabene adalah tetangga mereka sendiri. Masalahnya adalah kalau para kader tersebut hidupnya saja kekurangan atau pas-pasan, tentunya layanan yang akan mereka berikan – secara sukarela – itu akan berkurang kualitasnya.
  • Umumnya masyarakat baru mau urunan kalau untuk membangun rumah ibadah, kegiatan 17 Agustusan atau kegiatan seremonial lainnya. Di sisi lain mereka susah diajak patungan untuk menangani masalah sosial yang bersifat pencegahan seperti masalah mencegah kurang gizi atau bodoh tersebut. Kalau bersifat penanggulangan, misalnya terjadi bencana, gotong royong masyarakat umumnya tak diragukan lagi.
  • Ada beberapa kasus di mana terjadi ibu membunuh anaknya karena kelaparan (di Bekasi tahun 2008) atau ibu dan anaknya mati kelaparan tanpa ketahuan tetangganya (Makassar tahun 2008). Patut diingat orang miskin cenderung minder (introver) yang lalu menjauhi masyarakat. Akibatnya mereka seringkali lolos dari perhatian masyarakat sekitar yang memang lama kelamaan cenderung makin berbudaya egois
  • Masih banyak rumah ibadah yang memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Urusan dunia ditangani oleh RT/RW dan pemerintah sementara urusan akhirat ditangani rumah ibadah. Kalaupun ada kegiatan sosial, umumnya masih seremonial. Setahun bisa dihitung dengan jari. Bukan merupakan kegiatan rutin untuk menanggulangi dan mencegah kemiskinan dan kebodohan. Padahal awalnya dulu, di masa rasul ada, melalui rumah ibadah yang sederhana, kegiatan sosial selalu pararel dengan kegiatan menyembah Yang Maha Kuasa.
Akibat dari tingkat keberdayaan yang masih rendah ini sementara pemerintah tidak sanggup sendirian menangani kemiskinan dan kebodohan, maka ada ancaman potensial bahwa 20 tahun ke depan akan banyak muncul orang yang menjadi beban bangsa karena di masa kecilnya gizinya buruk dan tidak tersentuh oleh pendidikan yang memadai.

Berkaitan dengan ancaman itu, maka banyak pihak menyarankan agar program CSR perlu bersentuhan dengan masalah kemiskinan dan kebodohan pada level dasar tanpa harus memanjakan si miskin dan si bodoh tersebut. Dengan kata lain CSR diusulkan agar selalu berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat baik yang mampu (sejahtera) maupun yang miskin (prasejahtera) agar mereka bersinergi saling membantu menuju kehidupan yang lebih sejahtera daripada sebelumnya.

Paket CSR Yang Dapat Difungsionalkan Untuk Mencegah Kemiskinan & Kebodohan

Sebagaimana disebutkan bahwa kemiskinan dan kebodohan hanya bisa diminimalkan oleh yang miskin dan yang bodoh sementara bantuan dari kaum yang mampu hanya bersifat sebagai pemicu agar si miskin dan si bodoh dapat memberdayakan dirinya. Dengan kata lain dalam proses pemberdayaan ini, kaum mampu (sejahtera) lebih berfokus pada upaya untuk lebih memberikan ”pancing” dan membangun ”telaga” ketimbang memberikan ”ikan”. Tetapi hal ini tidak lantas diartikan bahwa yang jompo miskin, tak bisa apa-apa, sakit-sakitan, dipaksa untuk menggunakan ”pancing”. Untuk kasus semacam itu, mau tak mau yang perlu diberikan adalah ”ikan” untuk dikonsumsi.

Berdasarkan tipe paket tsb, CSR yang berorientasi kepada kemiskinan dan kebodohan dasar dapat diklasifikasikan dengan contoh – contoh sebagai berikut:

Paket ”ikan” :
  • Bubur kacang ijo/ susu, telur rebus dan buah2an untuk ibu hamil dan balita miskin (melalui posyandu)
  • Pemeriksaan kesehatan dan pemberian makanan bergizi untuk jompo miskin (melalui posyandu)
Paket “pancing” :
  • Pengadaan lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) untuk balita miskin dan pemberian honor tambahan kepada para guru / fasilitatornya
  • Pengadaan mainan / buku anak-anak PAUD
  • Pengadaan lembaga BSB (Bermain Sambil Belajar) untuk memanfaatkan waktu luar sekolah atau luar kerja agar produktif serta pemberian honor tambahan kepada para fasilitatornya.
  • Pembiayaan pemagangan anak-anak remaja
  • Pembiayaan fasilitator pelatihan ibu-ibu di bidang industri rumah tangga
  • Beasiswa untuk anak-anak miskin
  • Dana gotong royong kerjabakti untuk membersihkan fasilitas umum / sosial masyarakat.
Paket ”telaga ” :
  • Membangun unit usaha kecil mikro di lokasi-lokasi di mana masyarakat miskin dapat ikut bekerja
  • Membangun prasarana umum yang dapat memberikan stimulasi usaha (biasanya dilakukan pemerintah)
Perusahaan dapat menitipkan paket-paket bantuan CSR tersebut kepada masyarakat via Posyandu atau Posdaya (lembaga revitalisasi Posyandu). Dengan sistem cek dan ricek data serta difungsikannya warga masyarakat sebagai pengawas, maka tingkat keberhasilan misi tersebut diperkirakan akan meningkat.

Berupaya Agar CSR tidak Meninggalkan Kemanjaan Tapi Justru Tradisi Keberdayaan

Dari pengalaman yang ada selama ini, seringkali program – apapun jenis programnya - putus di tengah jalan karena terkena penyakit ”hangat-hangat tahi ayam”. Aktif di permulaan, melempem di pertengahan dan mati suri di ujungnya. Penyebab utamanya, kalau ditelusuri, adalah ketiadaan motor dan kurangnya konsistensi dukungan masyarakat terutama dari para tokohnya.

Menyiasati kemungkinan kondisi demikian, beberapa usaha yang bisa dilakukan oleh perusahaan terkait dengan CSR-nya antara lain adalah
  • Meminta partisipasi dari tokoh agama setempat agar selalu menjelaskan kepada masyarakat bahwa peduli orang miskin adalah tugas setiap orang yang kelak akan dipertangungjawabkan di pengadilan akherat. Sokur-sokur kalau kegiatan peduli tersebut diangkat sebagai tradisi rutin mingguan masjid atau rumah ibadah lainnya tanpa pandang SARA
  • Menyertakan seluruh masyarakat alias tidak memonopoli sendiri kegiatan CSR. Sebagai contoh di Kebon Pedes Bogor, Direktur Good Year menyumbang kacang ijo sedangkan masyarakat menyiapkan susu untuk ibu hamil dan balita miskin
Bilamana kegiatan di atas dapat dilaksanakan, maka itulah kepeloporan perusahaan untuk ikut memfasilitasi masyarakat agar memberdayakan dirinya sehingga bisa keluar dari kondisi kurang gizi, kelaparan dan kebodohan. Dan itu berarti sumbangan yang sangat besar artinya bagi negeri ini

Rujukan :
  • Karno Raditya, 2008. Posyandu dan Gizi Buruk di Indonesia, Majalah PAB Indonesia Nov-2008 dalam, www.kabarindonesia.com Sabtu 7 Maret 2009,
  • http://drakeiron.wordpress.com/2008/11/16/info-posyandu/ diakses 2009-04-30
Bogor, Mei 2009
SastrawanBatangan / JonPosdaya / SriPosdayawati / MariBerposdaya / Posdaya

1 komentar:

  1. Kami sangat setuju sekali dengan pemikiran penulis, melibatkan pemuka Agama, juga rumah ibadah dalam menuntaskan kemiskinan Bravo

    BalasHapus