Selasa, Juni 30, 2009

Tidak Mungkin Tanpa Hutang Dan Karena Itulah Mesti Bayar

Siapa saja yang mau menggunakan akalnya tentunya akan pernah berpikir bahwa dia tidak mungkin hidup tanpa bantuan orang dan makhluk lain yang ada di sekelilingnya. Dengan kata lain terpaksa ataukah tidak, dia telah behutang kepada orang dan makhluk lain itu. Ada hutang tenaga, hutang ’mata’, hutang ’rasa (perasaan)’, hutang nyawa dan berbagai macam jenis hutang lainnya. Mestikah semua hutang itu dibayar ?

Fenomena BerHutang


Kehadiran semua enersi dan materi di alam semesta ini, termasuk manusia di antaranya, bukanlah suatu hal yang sia-sia alias tiada gunanya. Kalau dipikir lebih mendalam, ternyata semua yang hadir itu memiliki hubungan saling melengkapi karena di antara mereka terjadi proses memberi dan diberi. Entah terpaksa ataukah tidak.

Tidaklah lengkap kalau misalnya saja salah satu dari mereka tidak ada. Dengan kata lain dengan hadirnya suatu fungsi maka fungsi lain akan menjadi ada. Sebagai contoh, manusia tidak akan disebut manusia kalau tidak ada makanan yang berasal dari tanaman atau hewan. Sebaliknya, tanaman dan hewan akan menjadi seperti apa adanya jika tidak ada manusia yang memberdayakannya.

Anjing, misalnya, akan tetap menjadi anjing pada umumnya jika tidak dilatih. Karena dilatih, misalnya oleh polisi, maka anjingpun menjadi bernilai lebih. Melalui penciumnya yang tajam, ia menjadi anjing yang memberikan kontribusi dalam memberantas kejahatan. Dan sebagai imbalannya, sang anjing ikut merasakan naik mobil (dalam hal ini mobil polisi), makanan dan ”rumahnya” kandangnya lebih berkualitas daripada hal yang sama yang diperoleh anjing lainnya.

Manusia berhutang budi kepada anjing. Sang anjing berhutang budi kepada manusia. Itu baru satu contoh. Kalau ditelusuri lebih jauh, hutang budi selalu dialami oleh makhluk apa saja. Termasuk makhluk yang disebut jahat sekalipun. Berikut ini adalah contoh beberapa fenomena ”hutang budi” :

  • Kita tak mungkin hidup bila tak ada makanan yang tersedia dalam bentuk hewan dan tanaman. Hal yang sama juga terjadi jika tanaman dan atau hewan, kalupun ada, ”memberontak” tidak mau disentuh, apalagi dimanfaatkan oleh manusia.
  • Kita tak mungkin hidup kalau tak ada ibu dan bapak kandung kita
  • Kita tak mungkin disebut ibu kandung atau bapak kandung kalau tidak ada anak kandung yang langsung lahir dari diri kita atau dilahirkan oleh isteri kita.
  • Kita tak mungkin menjadi kaya kalau tidak ada yang mau bekerja dengan kita dan ada orang mau membeli barang/jasa kita.
  • Kita tak mungkin mempunyai rumah bagus kalau tak ada tukang dan kuli yang mau membangunnya
  • Kita tak mungkin bisa disebut bupati (kalau kebetulan kita bupati) atas suatu kabupaten kalau tidak ada rakyat yang diperintahnya
  • Kita tak mungkin bisa disebut polisi yang berhasil mencegah/ mengurangi kriminalitas (kalau kebetulan kita polisi) kalau tak ada manusia yang melakukan tindak kriminal (sehingga dapat dikatakan bahwa sesungguhnya gara-gara ada pelaku kriminal maka ada polisi naik pangkat).
  • Kita tak mungkin bisa bersatu kalau tak ada orang yang menjadi pemimpin yang menyatukannya.
  • Kita tak mungkin bisa bersyukur kalau kita tidak pernah melihat orang sombong, orang sakit, orang digebuki, dll
  • Kita tak mungkin bisa bekerja dengan baik kalau komponen tubuh (pernafasan, pencernakan, dll) kita tidak berfungsi dengan baik, dll

Dengan kata lain tidak mungkin kita bisa hidup sendiri. Terjadi fenomena saling memerlukan dan saling melengkapi. Demikian pula halnya dengan keberhasilan yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang (misalnya kelompok bisnis, LSM, pemerintahan, negara, dll), juga tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Selalu ada makhluk lain yang berkorban (suka atau tidak suka, terpaksa atau tidak terpaksa) agar keberhasilan tersebut dapat diraih.

Bisa kita bayangkan bagaimana jadinya kalau air “memberontak” tak mau diatur. Bagaimana jadinya kalau tanaman “memberontak” tak mau dipetik buahnya oleh manusia. Bagaimana jadinya kalau kuda tak mau dinaiki. Bagaimana jadinya kalau anggota keluarga atau anak buah kita “memberontak” tak mau diatur. Dan atas dasar itulah kita dan siapa saja selalu berhutang budi kepada yang lainnya.

Menyimak berbagai fenomena tersebut, sesungguhnya setiap manusia itu selalu “berhutang budi” kepada makhluk / manusia lainnya. Dengan mengambil contoh sebelumnya, beberapa fenomena hutang budi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

  • Seorang pemimpin berhutang budi kepada yang memilih/mengangkatnya serta kepada anak buah/rakyat yang dipimpinnya
  • Orang yang punya rumah bagus berhutang budi kepada tukang dan kuli yang membantu membangun para pedagang bangunan dan orang lain yang melihat rumah itu lantas bilang “bagus”.
  • Orang yang punya pembantu rumah tangga berhutang budi kepada pembantu tersebut karena gara-gara pekerjaan di rumah beres, ada kesempatan untuk meraih rezeki di luar rumah .
  • Pedagang berhutang budi kepada para pemasok barang, pekerja yang membantu dan para konsumen yang membeli barangnya
  • Anak berhutang budi kepada orang tuanya
  • Orang tua berhutang budi kepada anaknya karena gara-gara ada anak tsb mereka bisa disebut orang tua, menjadi terhibur hatinya, dll.
  • Orang tua seorang anak berhutang budi kepada para guru anaknya, dll
  • Para pengembang perumahan (real estate developer) berhutang budi kepada masyarakat yang mau melepaskan/ menjual lahannya.
  • Orang baik berhutang budi kepada pencuri karena omongan orang baik seringkali tidak didengar oleh orang kaya sementara pencurian lebih menyebabkan orang kaya menjadi seringkali sadar
  • Orang baik berhutang budi kepada orang sombong karena menyebabkan orang baik tersebut bersyukur bahwa dirinya tidak sombong
  • Manusia berhutang budi kepada tanaman, hewan dan material-material lainnya yang ada di bumi dan langit karena gara-gara mereka maka manusia dapat makan, minum, melihat keindahan, dll.
  • Setiap manusia berhutang budi kepada seluruh organ tubuhnya karena gara-gara mereka ia dapat menjalankan tugasnya.

Hutang Perlu Dan Bahkan Harus Dibalas Dengan Membayar Hutang


Hutang budi “perlu” dan bahkan “harus” dibalas secara langsung ataupun tidak langsung. Lantas bagaimana kalau kita tidak melakukan balas budi?. Berbagai hal yang tidak mengenakkan akan timbul, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa contohnya adalah :

  • Jika orang kaya tidak membalas budi kepada orang-orang yang telah menjadi lantaran dia kaya dengan cara memberikan sebagian hartanya kepada orang lain, terutama kepada yang miskin, maka pada suatu saat jurang kaya-miskin akan makin melebar sementara si miskin yang minus kasih sayang akan melakukan penjarahan atau pengrusakan.
  • Jika penguasa tidak tahu diri dan tidak membalas budi sehingga bersikap otoriter, maka pada suatu saat akan diturunkan oleh rakyatnya sendiri atau oleh orang asing.
  • Jika manusia tak tahu diri lalu membiarkan alam tidak terpelihara bahkan dirusak, maka banjir, longsor dsb biasanya akan membuat manusia menderita
  • Jika manusia hanya berpikir untuk maju atau bekerja keras tanpa kenal waktu dan lupa memelihara tubuhnya maka suatu saat ia akan sakit.
Pengertian membalas budi secara langsung adalah dengan memberikan barang berguna sesuai kebutuhan kepada makhluk/orang yang secara langsung telah membantu kita. Sedangkan membalas budi yang bersifat tidak langsung antara lain berupa menganjurkan atau memberikan sesuatu kepada makhluk/orang lain yang secara tak langsung membantu kita namun mempunyai pengaruh atas keberhasilan kita.

Contoh membalas budi secara langsung antara lain adalah :

  • Anak membalas budi kepada orang tuanya secara langsung dengan cara berkata-kata sopan, memelihara orang tuanya saat sudah tua renta,
  • Bos memberikan tambahan bonus kepada anak buahnya yang berprestasi
  • Mengunjungi teman yang sakit (walaupun ia sombong).
  • Mandi, olahraga, mengikuti acara ritual-religius, dll
Sedangkan contoh membalas budi secara tidak langsung adalah :

  • Menganjurkan untuk menolong orang miskin “yang tak mendapatkan kesempatan memperoleh kue pembangunan” karena sudah “direbut” duluan oleh orang-orang yang mempunyai modal, orang-orang yang dekat sumber informasi, orang-orang yang dekat kekuasaan.
  • Melestarikan mengendalikan pertumbuhan dan tidak membunuh atau memperlakukan tanaman/hewan dengan semena-mena.

Membalas budi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat disebut dengan istilah 'berbuat baik' atau bisa pula disebut sebagai 'bersyukur'. Jadi berbuat baik – kepada semua makhluk dan kepada diri sendiri- memang menjadi suatu keharusan karena kita berhutang budi. Kalau tidak dikerjakan, kita tidak dapat menjalankan peran kita sebagai manusia dalam arti yang sebenarnya.

Akhirnya setelah mengetahui berbagai fungsi utusan YMK yang bermacam-macam itu, maka kita patut bersyukur karena kita dijadikan sebagai manusia yang dengan izin YMK berfungsi untuk mengatur / memberdayakan alam semesta. Namun apakah peran itu sudah kita laksanakan dengan sungguh-sungguh, sebaik dan semaksimal mungkin ? Apakah kita masih suka malas “membalas budi” ? Apakah kita masih tidak mau mendengar, memusuhi, mencela, berbuat kasar, merusak, melakukan teror, bahkan membunuhi utusan YMK yang lain dengan semena-mena ? Apakah kita masih suka lupa sehingga secara tak sadar telah memberi tempat kepada penyakit dalam diri kita sendiri ? Mudah-mudahan tidak dan mudah-mudahan pula kita telah memberdayakan diri untuk memberdayakan yang belum berdaya sebagai cara membayar hutang budi kita.

Dasar Posdaya (SastrawanBatangan-20090630)- http://www.mariberposdaya.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar